REPUBLIK RASA KERAJAAN: Antara Bentuk Pemerintahan dan Kecenderungan Kekuasaan

REPUBLIK RASA KERAJAAN:

Antara Bentuk Pemerintahan dan Kecenderungan Kekuasaan

Oleh: Asep Tapip Yani

(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)

 

 

Pendahuluan

Republik sejatinya berdiri karena kedaulatan bangsanya di tangan rakyat, bukan di tangan perorangan seperti raja, atau kelompok tertentu seperti mafia. Dalam diskusi politik modern, istilah “Republik Rasa Kerajaan” sering kali digunakan secara kiasan untuk menggambarkan sebuah pemerintahan yang, meskipun secara resmi berbentuk republik, memiliki ciri-ciri atau praktik yang menyerupai monarki atau kerajaan. Republik sejatinya adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui perwakilan yang dipilih. Namun, tidak jarang sebuah republik justru memiliki pemimpin yang cenderung menjalankan kekuasaan seperti seorang raja—dengan kontrol yang sangat kuat, masa jabatan yang diperpanjang, dan sedikit ruang bagi oposisi.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara yang berkembang, tetapi juga dapat ditemukan di negara-negara maju. Dengan latar belakang tersebut, artikel ini akan membahas bagaimana republik dapat berubah menjadi semacam “kerajaan” dalam praktiknya, serta contoh-contoh nyata dari fenomena ini dalam sejarah dan dunia politik kontemporer.

Definisi Republik dan Monarki

Untuk memahami konsep Republik Rasa Kerajaan, penting bagi kita untuk terlebih dahulu memahami definisi dari dua bentuk pemerintahan yang sering kali saling berlawanan: republik dan monarki.

Republik adalah bentuk pemerintahan di mana kepala negara dipilih, baik secara langsung oleh rakyat atau melalui perwakilan yang terpilih, dan tidak berdasarkan hak turun-temurun. Prinsip utama republik adalah kekuasaan di tangan rakyat, yang mewujudkan kehendak mereka melalui mekanisme pemilihan umum.

Monarki adalah sistem pemerintahan di mana kepala negara adalah seorang raja atau ratu yang mendapatkan kedudukan tersebut secara turun-temurun. Kekuasaan dalam monarki bisa bersifat absolut, di mana raja memiliki kekuasaan penuh, atau konstitusional, di mana raja hanya memiliki kekuasaan simbolis.

Meski republik dan monarki memiliki prinsip dasar yang berbeda, dalam praktiknya beberapa negara dengan sistem republik bisa menunjukkan ciri-ciri pemerintahan yang lebih menyerupai monarki. Di sinilah istilah Republik Rasa Kerajaan muncul untuk menggambarkan realitas politik ini.

Ciri-Ciri Republik Rasa Kerajaan

Meski sebuah negara secara resmi menyebut dirinya sebagai republik, ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa pemerintahan negara tersebut mulai beroperasi seperti monarki. Beberapa ciri-ciri utama dari Republik Rasa Kerajaan adalah sebagai berikut:

Kepemimpinan yang Terlalu Lama: Salah satu ciri utama Republik Rasa Kerajaan adalah lamanya seorang pemimpin berkuasa. Dalam republik sejati, pemimpin seharusnya dipilih secara berkala, dengan masa jabatan yang terbatas. Namun, dalam praktiknya, ada banyak contoh di mana pemimpin republik terus memperpanjang masa jabatannya, baik melalui perubahan konstitusi, pemilihan yang tidak bebas, atau bahkan penundaan pemilu.

Kultus Individu: Dalam monarki, raja atau ratu sering dipuja sebagai figur yang tidak bisa diganggu gugat. Di republik yang berubah menjadi “kerajaan,” sering kali pemimpin dikelilingi oleh kultus individu, di mana ia dianggap tak tergantikan, dan kritik terhadap pemimpin tersebut dianggap sebagai tindakan yang merongrong negara.

Sentralisasi Kekuasaan: Monarki tradisional biasanya memiliki struktur kekuasaan yang sangat terpusat, dengan raja memegang kendali penuh atas berbagai aspek kehidupan politik dan ekonomi. Hal serupa bisa terjadi di republik yang berubah menjadi Republik Rasa Kerajaan, di mana kekuasaan terpusat di tangan seorang pemimpin atau kelompok kecil yang sangat berpengaruh.

Pengabaian Prinsip Demokrasi: Republik seharusnya menghormati prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan pemisahan kekuasaan. Namun, dalam Republik Rasa Kerajaan, prinsip-prinsip ini sering diabaikan atau dilemahkan untuk memastikan stabilitas kekuasaan sang pemimpin.

Contoh Nyata dalam Sejarah dan Politik Modern

Beberapa contoh negara yang secara resmi berbentuk republik tetapi sering dianggap memiliki karakteristik monarki adalah sebagai berikut:

Republik Korea Utara

Meskipun Korea Utara secara resmi menyebut dirinya sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea, banyak pengamat yang menggambarkannya sebagai sebuah dinasti totaliter. Keluarga Kim, yang telah memimpin negara ini sejak pendiriannya pada 1948, menjalankan kekuasaan layaknya monarki absolut. Kim Il-sung, Kim Jong-il, dan Kim Jong-un mewariskan kekuasaan dari generasi ke generasi, dan rakyat Korea Utara harus menunjukkan loyalitas penuh kepada pemimpin mereka, hampir seperti dalam monarki klasik.

Republik Rusia di bawah Vladimir Putin

Rusia adalah republik federal yang memiliki sistem demokrasi perwakilan. Namun, di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, banyak yang menilai bahwa Rusia telah berubah menjadi Republik Rasa Kerajaan. Putin telah memegang kekuasaan sebagai presiden dan perdana menteri Rusia selama lebih dari dua dekade, dan banyak pengamat internasional yang menganggap bahwa kekuasaannya sangat terpusat. Meskipun ada pemilihan umum, sebagian besar kritik mengatakan bahwa pemilu di Rusia tidak bebas dan adil, serta media dan institusi negara dikendalikan oleh pemerintah.

Tiongkok Modern di Bawah Xi Jinping

Tiongkok, secara resmi dikenal sebagai Republik Rakyat Tiongkok, juga merupakan contoh dari sebuah negara yang secara resmi republik, tetapi memiliki ciri-ciri yang mendekati monarki. Xi Jinping, yang menjadi pemimpin Tiongkok sejak 2012, telah memperpanjang masa jabatannya dengan menghapus batasan periode kepresidenan dalam konstitusi. Dengan kekuasaan yang sangat terpusat di tangannya, banyak yang melihat Tiongkok di bawah Xi lebih mirip dengan kerajaan absolut daripada republik demokratis.

Faktor yang Menyebabkan Perubahan dari Republik ke Republik Rasa Kerajaan

Fenomena Republik Rasa Kerajaan biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap konsolidasi kekuasaan di tangan seorang pemimpin atau kelompok elit. Beberapa faktor penyebab utamanya meliputi:

Ketidakstabilan Politik dan Ekonomi: Ketika negara menghadapi ketidakstabilan politik atau ekonomi, rakyat sering kali mencari pemimpin yang kuat untuk mengatasi krisis. Pemimpin tersebut kemudian bisa memanfaatkan situasi darurat untuk memperpanjang masa kekuasaannya dan melemahkan mekanisme demokrasi dengan dalih menjaga stabilitas.

Kelemahan Institusi Demokratis: Di banyak negara, institusi demokratis seperti peradilan yang independen, parlemen yang kuat, dan media yang bebas belum sepenuhnya matang. Ketika institusi-institusi ini lemah, pemimpin yang berkuasa bisa dengan mudah mengambil alih dan mengonsolidasikan kekuasaan tanpa mendapat perlawanan yang berarti.

Budaya Politik yang Memuja Pemimpin Kuat: Di beberapa negara, ada budaya politik yang memuja pemimpin kuat dan memandang oposisi sebagai ancaman bagi stabilitas. Dalam budaya seperti ini, seorang pemimpin bisa dengan mudah membangun kultus individu dan mengonsolidasikan kekuasaannya tanpa banyak tantangan.

Dampak Republik Rasa Kerajaan terhadap Demokrasi

Transformasi sebuah republik menjadi Republik Rasa Kerajaan memiliki dampak yang signifikan terhadap demokrasi. Beberapa dampak utamanya adalah:

Pembatasan Kebebasan Berpendapat dan Pers: Dalam Republik Rasa Kerajaan, pemimpin sering kali berusaha mengendalikan media dan membungkam kritik. Hal ini mengarah pada pembatasan kebebasan pers dan berpendapat, yang merupakan pilar utama dari demokrasi.

Erosi Mekanisme Akuntabilitas: Di negara-negara ini, mekanisme akuntabilitas seperti pemilu yang bebas dan adil serta lembaga peradilan yang independen sering kali dilemahkan atau dikooptasi oleh pemerintah.

Stagnasi Politik dan Ekonomi: Ketika kekuasaan terpusat di tangan satu orang atau kelompok kecil, negara sering kali mengalami stagnasi politik dan ekonomi karena kurangnya inovasi, reformasi, dan dinamika dalam proses pengambilan keputusan.

Kesimpulan

Republik Rasa Kerajaan adalah fenomena yang menunjukkan bahwa meskipun sebuah negara secara formal berbentuk republik, dalam praktiknya bisa menjadi seperti monarki. Hal ini terjadi ketika seorang pemimpin atau kelompok kecil mengonsolidasikan kekuasaan, melemahkan mekanisme demokrasi, dan memperpanjang masa kekuasaan mereka. Republik yang berubah menjadi Republik Rasa Kerajaan sering kali ditandai dengan lamanya masa jabatan pemimpin, sentralisasi kekuasaan, kultus individu, dan pengabaian prinsip-prinsip demokrasi. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru dan telah terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarah hingga era modern.

Dalam konteks global, penting bagi masyarakat dan institusi internasional untuk memperhatikan gejala-gejala Republik Rasa Kerajaan, karena hal ini bisa berdampak serius pada stabilitas politik, sosial, dan ekonomi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Ada baiknya, kita sebagai warga bangsa, waspada, untuk menjaga republik Indonesia kita tetap republik, sejatinya republik. @@@

 

 

 

 

*Penulis merupakan Akademisi sekaligus Tokoh Pendidikan tinggal di Jakarta 

 

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top