OPINI : Quo Vadis ‘Pilkada’ dan Keterlibatan Mantan Aktivis menjadi tim dan Relawan Bapaslon Tertentu

OPINI : Quo Vadis ‘Pilkada’ dan Keterlibatan Mantan Aktivis menjadi tim dan Relawan Bapaslon Tertentu

 

 

                Oleh. Nukman

          ( Mantan Aktivis ’98  )

 

 

 

Sengitnya pertarungan politik 2024, telah memberikan warna dan corak tersendiri terhadap pemilihan kepala daerah serentak yang akan digelar dalam waktu lebih kurang 70 hari lagi, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan penduduk lebih kurang 10 juta jiwa dalam bulan November  2024 mendatang akan menggelar suksesi kepemimpinan daerah mulai dari Mataram hingga Kota Bima termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat. Suksesi kepemimpinan daerah merupakan suatu keharusan dan keniscayaan yang mesti dilalui tanpa adanya preserve.

Pilkada NTB awalnya dinamis namun mendekati ujung kontestasi berubah drastis dinamikanya menjadi semacam gerakan ‘quo’ yang bernuansa pragmatis hedonistik bahkan menjurus ke oligarki dan transaksional serta semakin jauh dari yang diharapkan.

Sekelompok entitas sibuk melakukan pencitraan seolah-olah mewakili rakyat dan masyarakat mencoba menggelar diskusi atau apalah namanya dengan pola pola tertentu namun tidak nyambung dengan ide awal bahkan konsistensinya diragukan sebab outcomes dari gebrakannya tidak simultan dan berkesinambungan.

 

Ada sekelompok anak muda didekat episentrum kekuasaan yang mencoba meramu diksi menawarkan narasi demokratisasi dan public sphere fairness dalam pilkada namun tidak tuntas genre-nya. Sosok mereka yang seharusnya menjadi the agent of social change kini berubah menjadi the bumper of teamwork politik, menjadi buzzerp , menjadi simpul dan iconik yang ujungnya melunturkan nilai idealisnya.

 

Pilkada Provinsi Nusa Tenggara Barat kini telah menyimpulkan tiga paket dan duet klasik yakni Dr Zulkieflimansyah – Suhaili FT, SH, Dr Iqbal – Dinda, dan Dr Rohmi – Dr Firin. Ketiga bakal pasangan calon (Bapaslon) merupakan mantan pejabat, Dr Zul mantan Gubernur, Dr Iqbal mantan Dubes, dan Doktor Rohmi mantan wagubnya Bang Zul sedangkan sisanya sama. Sama-sama pernah menjadi pelaku sistem dan telah diketahui plus minusnya.

 

Begitu pula dengan di daerah daerah Kabupaten/Kota aroma quo masih tersaji dengan komplit. Selain itu ada kecenderungan baru mengikuti gaya politik Mukidi dan Mulyono menerapkan pola dinasti gaya baru dengan menghidupkan kembali sikap politik Machiavelli dan Gaya Otoritatif yang mengagungkan trah tertentu.

Bagi saya, pilkada NTB ini landai – landai saja belum ada sosok ideal. Belum ada figur yang dilahirkan dari gagasan rakyatnya, semuanya hasil godokan B1KWK yang bernilai miliaran sehingga sudah barang tentu yang berubah hanya casing isinya sama dengan mindset yang sama. Kalau boleh saya katakan tampilan tiga paket ini sepertinya NTB masih berstatus jalan di tempat “Quo” atau bahkan makin melenggangkan dan memperpanjang ritme kepemimpinan sebelumnya saat mereka berkuasa dan memimpin sebelumnya. Karakter tidak semudah itu bisa berubah termasuk watak, dalam ilmu kebijakan sangat sulit merubah watak dan kepribadian seseorang apalagi mindsetnya masih sama.

 

Ini tentu saja bukan salah calon dan salah kita melainkan sistem di organisasi partai politik yang kian hari kian Oligarki, Transaksional dan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa dan negaranya sendiri. Organisasi partai politik kita sejatinya masih membebani kader dan non kadernya untuk tampil. Mereka masih memegang adagium ” Ada Uang Abang Disayang, Tak Ada Uang Abang Ditendang”.

 

Sejumlah publik figur yang hebat hebat sempat muncul dan tampil sesaat seperti dari kalangan akademisi dan ulama bahkan kaum pendidik dan terdidik serta aktifis maupun pegiat, namun karena mereka tak punya partai tak punya cuan semuanya ditinggalkan, dihindari bahkan dijauhi oleh para owner yang sedang memainkan peran elan vital oligarki tadi.

 

Partisipasi dan demokrasi kini semakin dijauhkan oleh elit politik dan praksis, seakan akan itu sebagai kemenyan saja dalam persemedian perjalanan perpolitikan tanah air, semuanya semakin hari semakin susah dan rumit. Sistem dalam partai yang kian hari ‘njlimet’ jauh dari harapan,

 

Pilkada serentak ini ada plus minusnya, jika digelar secara serentak akan menghemat anggaran dana dan lainnya dan jika dilaksanakan seperti sebelumnya bakal menguntungkan partai. Kenapa bisa menguntungkan? Karena jika tidak dirubah sistem pelaksanaannya akan memberikan pemasukan partai secara berkelanjutan bahkan partai menjadi kaya, namun dengan sistem serentak akan menutup ruang tadinya dan partai politik hanya mendapatkan sekali kecipratan yakni saat ini saja.

 

Informasi yang diserap oleh kami dari berbagai sumber Bapaslon yang hendak melamar partai harus menyediakan amunisi yang cukup buat dibawa ke penghulu partainya bahkan harganya cukup fantastis dihitung berdasarkan jumlah kursi yang ada. Artinya harga itu akan disesuaikan dengan kondisi berapa anggotanya yang berada di parlemen, makin banyak anggota nya yang duduk maka akan makin bertambah bandrolnya.

Provinsi NTB yang diikuti Kota Mataram, KLU, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, KSB, Dompu, Bima dan Kota Bima kesemuanya akan serentak mencoblos pada tanggal 27 November 2024 untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota serta Wakil Walikotanya untuk lima tahun kedepan.

Nasib dan masa depan daerah sebagai sandaran anak cucu kita tergantung surat suara yang dihasilkan di tempat pencoblosan tersebut dan bila salah memilih dan membiarkan untuk tidak memilih (Golput) maka akan sengsara selama lima tahun bahkan selamanya sebab dinasti juga semakin dirawat pertumbuhannya.

 

Cobalah ditengok TGB turun ke Rohmi lalu ke Al Faraby, Dinda turun ke anaknya, ada juga yang bikin sayap, Firin ke istri, terus kolaborasi lagi, bukan hanya Dinda saja melainkan semua dimana mana ada, kalau gini siapa yang salah, maka Undang Undang yang harus di atur tapi tunggu dulu Undang Undang ini DPR yang sahkan, terus siapa DPR itu?

 

Apa Arti Istilah Quo Vadis?

Quo vadis (Latin Klasik: [kʷoː waːdis], Latin Gerejawi: [kʷoː vadiːs]) adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah berarti: “Ke mana engkau pergi?” Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan bagian apokrif Kisah Petrus [en]: “Tuhan, ke mana Engkau pergi?”

Penyelenggaraan Pilkada serentak memiliki tujuan untuk memperbaiki administrasi pemerintahan, bukan malah sebaliknya pemerintahan daerah makin berantakan, makin amburadul, makin kacau, serta gak karuan.

Lebih lanjut, di jelaskan Mendagri bahwa tujuan Pilkada serentak tahun 2024 adalah untuk mengsingkronisasi program pemerintah pusat dan daerah, nah sinkronisasi disini maknanya secara manfaat, berdaya guna untuk kemaslahatan masyarakat bukan orientasi politik.

 

 

Bersambung……

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top