Makna Keteladanan: Antara Lubang Pembangunan dan Lubang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

“Makna Keteladanan: Antara Lubang Pembangunan dan Lubang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”

 

*Oleh. Hj.Sumarni H. Abdullah 

 

Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri, sebaiknya kembali melihat diri dalam-dalam. Ia penting untuk mengingat kembali motivasi awal, mengapa harus dirinya yang jadi Bupati. Kita khawatir dia lupa ingatan atau pura-pura lupa bahwa dirinya dimaksudkan untuk masyarakat dan daerah.

Rasa-rasanya terlalu sempit bahkan licik jika lebih dari separuh waktu atau seluruh jejak kepemimpinannya dua periode hanya untuk melayani yang punya hubungan darah, kekeluargaan, kekerabatan dan hubungan politis semata. Apalagi jika ditambah tujuannya menumpuk harta kekayaan pribadi, keluarga dan kroni.

Beragam masalah yang menyandra rakyat harusnya menumbuhkan gairah Bupati untuk menyelesaikannya. Demikian juga masalah-masalah birokrasi yang sangat kentara sisi kotornya dibanding sisi bersihnya.

Bupati tentu tahu lubang-lubang pembangunan. Bupati juga tahu lubang-lubang birokrasi yang perlu diperbaiki. Gairah untuk koruptif, kolutif, dan nepotisme harus sama-sama menggebunya dengan gairah berbuat baik untuk masyarakat dan daerah. Itu bila kita sepakat korupsi, kolusi dan nepotisme adalah keniscayaan.

Tentu kita ingin Hj. Indah Dhamayanti Putri dikenang dan dirindukan sebagai seoraang Pemimpin. Pemimpin yang dalam setiap waktunya memeras akal untuk berfikir memajukan daerah dan memeras tenaga untuk berbuat baik melayani masyarakatnya. Karenanya dia perlu meninggalkan legacy atau warisan politik yang baik.

Dengan kata lain, sepantasnya yang bersangkutan tidak dikenang hanya sebagai penguasa. Penguasa yang sekedar memeras akal dan memeras tenaga untuk menumpuk harta dan melayani keluarga, kerabat dan kroninya. Apalagi jika itu dilakukan dengan menumbuhkan dan merawat korupsi, kolusi dan nepotisme.

Melalui momentum inilah kita harapkan dia sumber keteladanan. Baik itu untuk jajaran pemerintahan, khususnya untuk masyarakat. Bagaimanapun kita tahu dampak “pucuk daun segar” sebagaimana kita tahu dampak “pucuk daun layu”. Sebab, jika “Ikan membusuk di Kepala” dampaknya merugikan kita semua.

Melalui momentum inilah kita ingin ingatkan bahwa lubang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Pemkab Bima semakin menganga. Sama dengan menganganya lubang pembangunan.

Begini penjelasannya:

KPK rutin melakukan Survei Penilaian Integritas (SPI) untuk mengukur komitmen organisasi Pemerintah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

Survei tersebut dilakukan untuk memetakan risiko korupsi, kemajuan upaya pencegahan korupsi dan membantu organisasi atau lembaga pemerintahan dalam menciptakan lingkungan kerja yang transparan, akuntabel, adil, serta bebas korupsi.

Penentuan skor integritas diperoleh berdasarkan nilai yang bersumber dari responden yang bersumber dari internal (pegawai pemerintah) dan eksternal (penerima layanan pemerintah).

Pemberian nilai integritas tersebut menggunakan angka 0-100 dengan logika semakin rendah angkanya, semakin tinggi potensi korupsi.

Nilai integritas 0-67.9 bermakna sangat rentan korupsi (zona merah). Nilai 68-73.6 rentan korupsi (zona kuning). Nilai 73.7-77.4 bermakna waspadai korupsi (zona biru). Sementara nilai 77.5 -100 bermakna terjaga dari korupsi (zona hijau).

Responden survei tersebut berasal dari pihak internal atau Pegawai Pemerintah dan pihak eksternal atau penerima layanan pemerintah. Survei tersebut dilakukan untuk memetakan risiko korupsi, kemajuan upaya pencegahan korupsi dan membantu organisasi atau lembaga pemerintahan menciptakan lingkungan kerja yang transparan, akuntabel, adil, serta bebas Korupsi.

Adapun skor integritas Pemkab Bima 3 tahun terakhir dapat diuraikan sebagai berikut:

2021
Skor integritas Pemkab Bima itu: 68.95 atau zona kuning (rentan korupsi).

Sumber Internal:

1. Risiko suap atau gratifikasi: 36.36
2. Risiko Jual Beli Jabatan: 36.4
3. Risiko Nepotisme dalam pengelolaan SDM: 45
4. Risiko perdagangan pengaruh, 35.07.
5. Risiko Pengelolaan Barang dan Jasa (PBJ): 41.69.
6. Risiko Penyalahgunaan Fasilitas Kantor: 64.94.
7. Risiko Penyalahgunaan Perjalanan Dinas: 40.26

Sumber Eksternal:

1. Suap/Gratifikasi: 15.5
2. Pungutan Liar: 9.9
3. Keberadaan Pungutan Liar: 10.
4. Kualitas Transparansi Layanan: 0
5. Kualitas Pengelolaan Barang dan Jasa (PBJ): 20

2022

Skor Integritas Pemkab Bima itu: 68.32 atau Zona Kuning (rentan korupsi).

Sumber Internal:

1. Suap atau gratifikasi: 29.82
2. Jual Beli Jabatan: 24.77
3. Nepotisme dalam pengelolaan SDM: 35.89.
4. Perdagangan pengaruh: 33.09.
5. Pengelolaan Barang dan Jasa (PBJ): 41.69.
6. Penyalahgunaan Fasilitas Kantor: 67.89.
7. Penyalahgunaan Perjalanan Dinas: 28.33.

Sumber Eksternal:

1. Suap/Gratifikasi: 36.11
2. Pungutan Liar: 12.5
3. Keberadaan Pungutan Liar: 63.64
4. Kualitas Transparansi Layanan: 63.64
5. Kualitas Pengelolaan PBJ: 18.18

2023.

Skor integritas Pemkab Bima 2023 itu 61.31. Angka tersebut menunjukan Pemkab Bima memasuki zona merah atau sangat rentan korupsi.

Sumber Internal:

1. Suap/Gratifikasi: 26.72
2. Perdagangan Pengaruh: 24.77
3. Pengelolaan PBJ: 36.73
4. Penyalahgunaan Fasilitas Kantor: 61.83
5. Nepotisme pengeloaan SDM: 28.75
6. Jual beli Jabatan: 20.61
7. Penyalahgunaan fasilitas dinas: 28.94

Sumber Eksternal:

1. Suap/Gratifikasi: 84.31
2. Pungutan Liar: 4.68
3. Keberadaan Pungutan Liar: 95
4. Kualitas Transparansi Layanan: 55
5. Kualitas pengelolaan PBJ: 40

Catatan:

1. Tahun 2021 dan 2022 Pemkab Bima berada di zona kuning (rawan korupsi).
2. Tahun 2023 Pemkab Bima memasuki zona merah atau sangat rentan korupsi.
3. Pemkab Bima bahkan tak mampu mempertahankan zona kuning alih-alih meraih zona hijau atau terjaga dari korupsi.
4. Terlihat kentara Bupati Bima tidak punya komitmen membersihkan Bima dari busuknya Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Malah menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya.
5. Merambahnya indikasi kejahatan jabatan tersebut, berbanding lurus dengan meningkatnya harta kekayaan Bupati setiap tahun dan meluasnya ketimpangan pembangunan.

Merujuk data-data tersebut, sebaiknya ada kesadaran dari kepala daerah untuk benar-benar membangun daerah sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dan nilai-nilai kepatutan. Dengan cara itu akan terwujud kepastian hukum dalam tata kelola pemerintahan dan kepastian hukum atas hak rakyat mendapatkan pembangunan yang layak. Percuma setiap saat jajaran birokrasi dilakukan penyegaran bila kepalanya tidak disegarkan pula.

 

 

 

*Penulis adalah Aktifis sekaligus tokoh perempuan Bima, Tinggal di Woha.

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top