Datu Raja Muda Kesultanan Sumbawa Segera Dinobatkan

JejakNTB.com| Kesultanan Sumbawa resmi berdiri pada tanggal 14 Dzulqaidah  1050 hijriah atau  bertepatan dengan 30 November 1648 wilayah hukum Kesultanan Sumbawa terbentang dari timur ke barat yaitu dari Empang Tarano hingga jereweh sekongkang. Saat ini wilayah  tersebut meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat. Ibukota Kesultanan Sumbawa tempo dulu terletak di Samawa Rea atau dikenal juga dengan sebutan Sumbawa Satu yang saat ini merupakan Kota Sumbawa Besar.

 

Eksistensi Kesultanan Sumbawa telah melalui  sejarah panjang dan telah melampaui pasang surut sesuai dengan kehendak zaman sehingga keberadaannya saat ini telah teruji oleh waktu.  Sebelum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Kesultanan Sumbawa merupakan Kesultanan Islam yang besar dan berjaya di bagian tenggara Nusantara dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Amaroellah (1837-1883) , Kesultanan Sumbawa berkembang menjadi salah satu Kesultanan yang makmur dibidang pertanian, perdagangan dan Maritim yang ditandai dengan ditanam nya bibit kopi  di Pegunungan Baru Lanteh, pengembangbiakan bibir sapi di Pulau Moyo dan mengirimkan para ulama untuk belajar ke Mekkah dan Timur Tengah.

Pada masa Sultan Muhammad Djalaluddin III  (1883 – 1931)  Kesultanan Sumbawa menempatkan posisinya yang sejajar dengan kekuatan kolonial Hindia Belanda berkat diplomasi antar negara yang telah dipraktikkan. Sedangkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931-1959) tantangan zaman menghendaki kebijaksanaan berbeda pula. Perang Dunia II melanda seluruh dunia sehingga sangat mempengaruhi kekuatan monarki secara global.

Begitu pula yang dialami Kesultanan Kesultanan lain yang ada di seluruh Nusantara. Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah entitas baru  dalam tata pemerintahan membuat Kesultanan Sumbawa pun harus beradaptasi sesuai tuntutan zaman. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945  menjadi tonggak perubahan zaman  yang  harus disikapi dengan kebijaksanaan yang menyeluruh. Kesultanan Sumbawa dibawah Sultan Kaharuddin III  berada di masa pancaroba itu. Berdasarkan aspirasi masyarakat Sumbawa Sultan Muhammad Kaharuddin III  membawa Kesultanan Sumbawa di masa transisi dari sistem monarki Kesultanan Sumbawa menuju Republik Indonesia. Kesultanan Sumbawa menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 13 April 1950  berdasarkan surat pernyataan atau statement bersama pemerintah Daerah pulau yang terdiri dari Swapraja Sumbawa,, Swapraja Bima dan Swapraja Dompu. Kesultanan Sumbawa bertransformasi menjadi Kabupaten Sumbawa pada tahun 1959.

Delapan puluh tahun kemudian setelah penobatan Sultan Kaharuddin III  tahun 1931 kehendak zaman berpihak pada otonomi daerah dimana kewenangan pengelolaan sumberdaya alam dan budaya  menjadi tanggungjawab daerah itu sendiri. Bertahun tahun masyarakat Sumbawa menyampaikan aspirasi nya kepada Lembaga Adat Tanah Sumbawa (LATSI)  agar sosok Sultan sebagai Puin Rea ( Pengayom) bagi Tau Tana Samawa perlu dimunculkan kembali.

Perwujudan dari aspirasi ini adalah terselenggaranya penobatan Muhammad Abdurrahman Daeng Raja Dewa Satu Raja Muda Kesultanan Sumbawa yang telah dikukuhkan saat beliau lahir pada 5 April 1941 sebagai Sultan Sumbawa XVIII yang bergelar Dewa Masmawa Muhammad Kaharuddin IV.

Penobatan ini bertujuan untuk pelestarian budaya dan sekaligus revitalisasi adat istiadat dan budaya  Tau ke Tana Samawa. Perubatan ini berakar ke adat istiadat dan budaya Kesultanan Sumbawa yang mulai dibangkitkan kembali pada tanggal 5 April 2011 yaitu momen dimana Sultan Sumbawa XVIII dinobatkan. Sebelas tahun kemudian sesuai dengan salah satu rekomendasi dari Mudzkarah Rea Lembaga Adat Tana Samawa (LATSI) tahun 2022 yang mengamanatkan kepada Sultan Muhammad Kaharuddin III  untuk memimpin pelestarian dan pengembangan budaya Tana ke tau Samawa  pengejewantahan dari Adat istiadat berlaku

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top