Cara Sebagian Entitas Condong ke Kultus Membuat Dinda Makin Cerdas Siasati Dou Mbojo

*Oleh. O Bima

 

 

Ibu Dinda atau Umi Dinda itu orang baik. Dia sosok yang  humble dan lovely: hangat, manis sikapnya dan ramah.

Orang Bima saja yang lebay; nggak bisa lihat pejabat apalagi bupati. Jabatan BUPATI itu dianggap seperti dewa. Bukan hanya tangan dicium, kakinya pun ingin dijilatnya, saking hormat mereka hingga tergila-gila.

Dinda tahu aspek dekaden ini dan mengelola nya dengan jitu dan penuh perhitungan. Dia mungkin membatin, “Lembo ade lengae. Sabar bro ” ini ungkapan bersayap, bisa bernada ancaman

Lihat saja realitasnya. Umi Dinda mulai dengan jurus ketergantungan seperti ditiru Jokowi alias Mulyono saat ini. Dia ciptakan ketergantungan para kepala dinas padanya. Orang Bima yang mendewakan jabatan takut jabatannya hilang. Dinda hafal mati itu barang. Timbullah loyalitas tanpa batas Dengan bekal dahu/takut, apa pun yg diperintah, siap dilaksanakan. Kalau nggak jabatan lenyap.

Penyakit menahun itu menjadi wabah di ASN utamanya yang punya jabatan: kepala bidang, kepala seksi, kepala sekolah, KCD.

Kenapa mental jongos alias budak ini tetap abadi dalam batin orang Bima? Nyatanya di Dompu bisa hilang, juga di Lombok dan Sumbawa.

Salah satunya orang Bima itu tidak mau open minded, membuka pikiran. Ina mpu’u (biang keladinya) orang terpelajar: dosen, guru, ASN dan mahasiswa. Dus, bukan orang awam. Sa-ai akana, sejak dulu hormatnya pada raja dan keluarganya itu luar biasa. Itu bagus. Tapi saya bilang di buku dan tulisan saya, mereka bukan raja atau keturunan raja tapi bekas raja dan bekas keturunan raja. Tetapi inilah akibat sikap membudak, dikasi tau begitu nggak juga terbuka pikirannya. Maka ketika Dae Feri dilantik jadi raja, pada senang. Begitu pun putra beliau ketika dilantik jadi jenateke, tidak juga dikoreksi apalagi dilarang. Majelis Adat, yang orang-orang mereka ya dengan senang hati melantik padahal melanggar UU.

Dalam UU Negara Indonesia Timur No. 44 Kerjaan Bima berubah status menjadi daerah swapraja tanggal 2 Oktober 1950. Namanya sudah bubar maka seluruh hal Ikhwal mengenai raja dan kerajaan telah lenyap seperti raja, jenateke kerajaan, bangsawan. Jd kalo msh ada lantik-melantik raja atau jenateke menjadi aneh. Raja dan kerajaan apa?

Parahnya lagi jabatan publik jenateke dipakai untuk kepentingan pribadi demi mendongkrak popularitas seseorang yg tampil sbg calon bupati. Ironisnya lembaga adat serta akademisi diam saja.

Sebab lain adalah latennya feodalisme di Bima. Saya sering bilang: Bima itu mengalami dua penjajahan yakni penjajahan oleh kolonialisme dan feodalisme. Kaum kolonial dan ideologix sudah hilang lenyap. Tetapi feodalisme masih bercokol dan terus menguat setelah terjadi aristokrasi birokrasi yakni tampilnya orang orang bekas bangsawan ke panggung kekuasaan seperti menjadi bupati, ketua dewan dan lainnya.

Ibu Dinda cukup cerdas, kondisi batin publik yang terperangkap feodalisme semu ini, diolah- olahnya dengan mengkomodifikasi jabatan jabatan kuno seperti raja dan Jenateke.

Hal lain kentalnya anggapan adat kalau menjadi pegawai itu suci, mulia, bermartabat. Di luar itu seperti petani, pedagang dan lainnya merupakan profesin kelas dua, yang tidak layak dan tak patut. Feodalisme istana masa lalu yang menciptakan image ini. Misalnya menganggap bangsawan (bangsawan itu seperti ASN saat ini) adalah ningrat, berdarah biru, kelas satu, ada pun yang bukan itu kelas dua, berdarah merah, kampungan

Cara merubah..eh mengubah mental itu? Hal yang efektif ya rebut kekuasaan dan singkirkan DINASTI.

 

 

 

*Penulis merupakan wartawan dan sejarawan tinggal di Jakarta 

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top