TRANSAKSI DAGANG SAPI JELANG PILKADA 2024: Sistem Oligarki Kangkangi Suksesi Kepemimpinan 

TRANSAKSI DAGANG SAPI JELANG PILKADA 2024:

Sistem Oligarki Kangkangi Suksesi Kepemimpinan 

 

 

Oleh: Asep Tapip Yani

Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta

 

 

OPINI| Hajat besar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serempak di Indonesia sebentar lagi akan dilaksanakan. Politik di Indonesia sering kali diwarnai oleh berbagai strategi dan taktik yang digunakan oleh partai politik dan para kandidat untuk memenangkan pemilihan, termasuk dalam Pilkada. Salah satu praktik yang cukup mencolok adalah apa yang dikenal sebagai “politik dagang sapi.” Istilah ini mengacu pada praktik tawar-menawar politik yang terjadi antara berbagai aktor politik, baik antar partai, antara partai dengan kandidat, atau antara kandidat dengan para pendukungnya. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang fenomena politik dagang sapi dalam konteks Pilkada, termasuk akar sejarahnya, dampaknya terhadap demokrasi, dan solusi yang bisa diambil untuk mengatasi praktik ini.

 

Definisi dan Sejarah Politik Dagang Sapi

Politik dagang sapi adalah sebuah istilah yang mengacu pada praktik tawar-menawar yang bersifat pragmatis dan oportunistik dalam politik, di mana keputusan politik, dukungan, atau aliansi dibentuk berdasarkan pertimbangan untung-rugi jangka pendek, bukan berdasarkan prinsip atau ideologi yang konsisten. Istilah ini berakar dari praktik jual beli sapi yang sering kali melibatkan tawar-menawar sengit antara penjual dan pembeli, di mana kedua belah pihak berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dalam konteks politik Indonesia, istilah ini mulai populer pada era Orde Baru, meskipun praktik tawar-menawar politik sudah ada sejak masa awal kemerdekaan. Pada masa Orde Baru, politik dagang sapi sering kali terjadi di balik layar, di mana para elit politik melakukan kompromi dan kesepakatan untuk mempertahankan kekuasaan atau memperoleh dukungan politik. Praktik ini terus berlanjut hingga era Reformasi, dengan beberapa perubahan dan penyesuaian sesuai dengan dinamika politik yang berkembang.

 

Politik Dagang Sapi dalam Pilkada

Dalam Pilkada, politik dagang sapi biasanya melibatkan berbagai aktor, termasuk partai politik, kandidat, pengusaha, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Tawar-menawar politik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti negosiasi mengenai pembagian kekuasaan, pembagian proyek-proyek pembangunan, hingga pemberian imbalan finansial atau jabatan tertentu kepada pihak-pihak yang bersedia memberikan dukungan.

Politik dagang sapi dalam Pilkada sering kali dimulai jauh sebelum hari pemilihan, bahkan sejak proses pencalonan. Partai politik yang memiliki basis massa yang kuat atau akses ke sumber daya tertentu bisa menawarkan dukungan kepada kandidat yang bersedia memenuhi tuntutan atau permintaan tertentu. Sebagai contoh, sebuah partai politik mungkin menuntut agar kandidat yang didukungnya bersedia memberikan posisi strategis di pemerintahan daerah kepada kader partai tersebut jika berhasil menang dalam Pilkada.

Selain itu, praktik ini juga sering terjadi dalam bentuk koalisi partai. Dalam banyak kasus, partai-partai yang memiliki kekuatan elektoral yang berbeda-beda membentuk koalisi untuk mendukung satu pasangan calon. Dalam proses pembentukan koalisi ini, partai-partai biasanya terlibat dalam negosiasi intensif untuk menentukan pembagian kursi kekuasaan jika pasangan calon tersebut berhasil menang.

 

Dampak Politik Dagang Sapi terhadap Demokrasi

Politik dagang sapi memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Dampak-dampak tersebut bisa dilihat dari beberapa aspek, antara lain:

  1. Merusak Integritas Proses Pemilihan

Politik dagang sapi cenderung merusak integritas proses pemilihan dengan mengaburkan garis antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi atau kelompok. Ketika keputusan politik diambil berdasarkan tawar-menawar dan bukan berdasarkan pertimbangan yang rasional dan demi kepentingan umum, hasil yang dihasilkan cenderung tidak mencerminkan aspirasi rakyat, melainkan lebih menguntungkan kelompok tertentu yang terlibat dalam proses tawar-menawar tersebut.

  1. Mengurangi Akuntabilitas Kandidat dan Partai Politik

Ketika kandidat atau partai politik lebih fokus pada memenuhi permintaan dari mitra koalisinya atau kelompok pendukungnya daripada memenuhi janji kampanye atau kebijakan yang dijanjikan kepada pemilih, akuntabilitas mereka terhadap publik menurun. Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap proses politik dan partai politik secara keseluruhan.

  1. Memperparah Korupsi dan Nepotisme

Politik dagang sapi sering kali menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi dan nepotisme. Ketika posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dijadikan komoditas yang diperdagangkan, ada kemungkinan besar bahwa individu-individu yang kurang kompeten atau yang memiliki kepentingan pribadi akan menduduki posisi tersebut. Akibatnya, kebijakan publik yang dihasilkan sering kali tidak efektif dan cenderung korup.

  1. Menciptakan Ketidakstabilan Politik

Koalisi yang dibentuk berdasarkan politik dagang sapi cenderung tidak stabil karena didasari oleh kepentingan jangka pendek yang rapuh. Ketika kepentingan tersebut tidak lagi terpenuhi atau ketika ada tawaran yang lebih menguntungkan dari pihak lain, koalisi bisa runtuh. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan politik, terutama jika terjadi di tingkat pemerintahan daerah.

 

Contoh Kasus Politik Dagang Sapi dalam Pilkada

Beberapa contoh kasus politik dagang sapi dalam Pilkada di Indonesia telah menjadi sorotan publik. Misalnya, dalam beberapa Pilkada, terjadi pembagian proyek pembangunan kepada pihak-pihak tertentu yang memberikan dukungan finansial atau politik kepada kandidat yang menang. Ada juga kasus di mana jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan daerah diberikan kepada kader partai politik yang telah membantu memenangkan Pilkada, meskipun mereka mungkin tidak memiliki kompetensi yang memadai.

Kasus-kasus semacam ini menunjukkan bagaimana politik dagang sapi dapat merusak tata kelola pemerintahan dan menghambat pembangunan daerah. Ketika pejabat yang terpilih lebih fokus pada membalas budi kepada para pendukungnya daripada bekerja untuk kepentingan rakyat, tujuan utama dari Pilkada – yaitu memilih pemimpin yang mampu membawa kemajuan bagi daerahnya – tidak tercapai.

 

Upaya Mengatasi Politik Dagang Sapi

Mengatasi politik dagang sapi dalam Pilkada bukanlah tugas yang mudah, tetapi ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk meminimalisir praktik ini dan meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat daerah:

  1. Memperkuat Regulasi dan Pengawasan

Salah satu langkah pertama yang perlu diambil adalah memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap proses Pilkada. Ini termasuk memperketat aturan mengenai pencalonan, pembiayaan kampanye, serta pembentukan koalisi partai. KPU dan Bawaslu sebagai lembaga pelaksana dan pengawas harus memiliki kewenangan yang lebih besar untuk menindak tegas pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan politik dagang sapi.

  1. Meningkatkan Transparansi dalam Proses Politik

Transparansi adalah kunci untuk mengurangi praktik politik dagang sapi. Partai politik dan kandidat harus diwajibkan untuk lebih transparan dalam hal pembiayaan kampanye, aliansi politik, dan sumber dana. Publikasi laporan keuangan partai dan kampanye secara berkala dapat membantu mencegah adanya dana gelap atau aliran dana yang tidak jelas.

  1. Menggalakkan Pendidikan Politik kepada Publik

Pendidikan politik yang baik kepada masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan rekam jejak kandidat, bukan berdasarkan janji-janji material atau politik uang. Dengan meningkatkan kesadaran politik masyarakat, sehingga masyarakat jadi melek politik, diharapkan praktik politik dagang sapi bisa diminimalisir.

  1. Mendorong Reformasi Partai Politik

Partai politik memiliki peran sentral dalam mencegah atau mendorong politik dagang sapi. Oleh karena itu, reformasi partai politik diperlukan agar partai-partai lebih fokus pada ideologi dan program kerja daripada pada pragmatisme jangka pendek. Partai politik juga harus mendorong kaderisasi yang baik sehingga mereka memiliki kandidat-kandidat yang kompeten dan berintegritas untuk diusung dalam Pilkada.

  1. Peningkatan Peran Media dan Masyarakat Sipil

Media dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawasi proses Pilkada dan menyoroti praktik-praktik politik dagang sapi. Jurnalisme investigatif, pelaporan yang mendalam, serta advokasi dari organisasi masyarakat sipil bisa membantu membuka praktik-praktik yang tidak sehat dalam politik dan mendorong adanya perubahan.

 

Kesimpulan

Politik dagang sapi adalah pragmatika politik transaksional yang merupakan salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada di Indonesia. Praktik ini merusak integritas proses demokrasi, mengurangi akuntabilitas kandidat dan partai politik, serta memperparah korupsi dan nepotisme. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan media. Dengan memperkuat regulasi, meningkatkan transparansi, menggalakkan pendidikan politik, serta mendorong reformasi partai politik, kita bisa membangun Pilkada yang lebih sehat, adil, dan berintegritas, yang pada akhirnya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang benar-benar mampu membawa kemajuan bagi rakyat. @@@

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top