10 Tahun Jadi Bupati KSB, Musyafirin Gagal Menyelesaikan Konflik Agraria Lahan Tambaksari

/Sengketa Lahan Tersebut Menyayat Hati Masyarakat Tambaksari

 

SUMBAWA BARAT, JEJAKNTB| Konflik atau sengketa lahan di Tir Trans Seteluk Desa Tambaksari Kecamatan Pototano di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), hingga kini masih menjadi buah bibir masyarakat setempat. Dalam 10 tahun kepemimpinan Bupati KSB, H W Musyafirin, dianggap gagal memberikan solusi atas konflik masyarakat tersebut.

Konflik agraria yang mencuat sejak tahun 2014 yang lalu itu, hingga kini tidak menemukan titik terang, meski pihak pemerintah desa setempat telah menempuh berbagai macam cara agar dapat mengembalikan lahan usaha (LU) berupa petakan tambak sebagai hak masyarakat.

Tokoh masyarakat Tambaksari, Rustam, saat ditemui di KSB, Kamis (10/10/2024) mengatakan, Bupati KSB dua periode itu telah gagal mengurus dan mengembalikan hak masyarakat di Tambaksari. Ia bahkan menilai bahwa Bupati tidak memberikan apapun selama 10 tahun kepada permasalahan tersebut.

“Masyarakat di sini sudah jatuh tertimpa tangga lagi, selama 10 tahun Musyafirin memimpin, tidak memberikan dampak atau solusi apapun atas permasalahan warga. Bahkan kami sendiri yang berjuang mati-matian untuk mengembalikan hak kami,” ujar Rustam.

Hal ini membuktikan, tambah Rustam, bahwa Bupati Sumbawa Barat periode 2016–2021 dan 2021–2024 gagal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang maksimal. Hingga akhir masa jabatannya ini, Musyafirin dianggap memberikan pil pahit kepada rakyatnya.

“Masyarakat di sini sudah tinggal puluhan tahun yang lalu, yakni sejak tahun 1999. Fakta nya, masyarakat hanya mendapat lahan pekarangan seluas masing-masing 5 are. Harusnya lahan usaha masing-masing 50 are yang menjadi hak masyarakat dapat diperjuangkan dan direalisasikan,” ujarnya.

Ia kembali menegaskan, bahwa kepemimpinan Musyafirin selama 10 tahun, tidak berdampak apapun ketika masyarakat tambak ini berjuang sendiri dengan berbagai macam cara untuk berusaha mengembalikan hak nya.

“Warga hanya mendapat 5 are lahan pekarangan, harusnya 364 petak lahan tambak itu menjadi lahan usaha masyarakat,” Ujarnya.

Rustam juga menyayangkan, Bupati KSB yang meminta masyarakat Tambaksari untuk legowo dan menyerah atas apa yang menjadi keputusan pemerintah saat ini.

Dijelaskan Rustam, sesuai dengan SK Mennakertrans RI No KEP 275/MEN/IX/2009 tentang Penyerahan Pembinaan Permukiman Transmigrasi kepada Pemda seluruh Indonesia termasuk UPT Seteluk. Akhirnya skitar tahun 2010 an Warga Trans meminta SHM Lahan Pekarangan dan LU yang menjadi Haknya sesuai ketentuan Ketransmigrasian, akan tetapi yang sudah diserahkan adalah SHM Lahan Pekarangannya saja seluas masing-masing 5 Area.

Sementara berdasarkan Surat dari Dirjen Pengembangan Kawasan Transmigrasi tanggal 16 Januari 2017 Poin 3, adalah hak-hak Transmigrasi telah dipenuhi seluruhnya termasuk SHM Lahan Pekarangan dan Lahan Tambak.

“Saat itu kami sangat berharap kepada Ditjen PPK Trans Kemendes untuk dapat menyerahkan SHM Lahan Tambak yang merupakan LU kami, tetapi hingga hari ini ceritanya berbeda. Warga menelan pil pahit,” Katanya.

Ia bahkan waktu itu meminta Rasa Keadilan dan Kepastian Hukum atas Hak masyarakat yaitu SHM LU masing-masing seluas 50 Are sejumlah 364 KK, Karena Transmigrasi adalah Program Pemerintah, untuk mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.

Konflik lahan tesebut bermula pada tahun 2000. Saat itu BPN mengeluarkan Surat Keputusan tentang pemberian hak pengelolaan atas nama badan admnistrasi kependudukan dan mobilitas penduduk atas tanah seluas 299 Hektar yang terletak di Desa Senayan Kecamatan Seteluk, atau yang kini menjadi Desa Tambak Sari Kecamatan Poto Tano yang diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan tambak udang.

Dalam 299 Hektar telah digunakan seluas 18 Hektar untuk pemukiman warga. Kemudian seluas 182 Hektar berstatus LU. Nah, untuk sisanya yang termasuk Hak Pengelolaan Lain (HPL) seluas 99 Hektar telah digarap oleh masyarakat Desa Tambak Sari, Desa Senayan, Desa Kiantar, dan warga desa lainnya di Kecamatan Seteluk dan Poto Tano untuk menyambung hidupnya.

Konflik agraria semakin menguat ketika sisa HPL yang seluas 99 Hektar, kepemilikannya di klaim oleh beberapa pihak, baik yang mengatasnamakan pihak koorporasi dalam hal ini PT. Bumi Harapan Jaya (BHJ) seluas 7,6 Hektar, PT. Sumber Jaya Abadi seluas 15 Hektar, sisanya kemudian di klaim juga oleh beberapa orang mengatasnamakan kepemilikan pribadi. Pengklaiman tersebut dinilai tidak mendasar, karena tidak ada keabsahan secara hukum yang bisa ditunjukkan.

Dari tahun 2014 hingga 2018 kami minta konflik agraria diselesaikan oleh DPRD KSB melalui komisi I, namun tetap saja tak selesai. (Sahrul)

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Scroll to Top
Scroll to Top